Commuterline Punya Cerita

Bekerja beda provinsi dari rumah ke kantor kayanya jadi hal yang lumrah sekarang ini. Ribuan mil ditempuh hanya untuk bekerja demi mencari sesuap nasi, satu truk emas murni, dan ridho Allah (Halahh..). Pekerja saat ini mungkin lebih banyak yang berasal dari luar Jakarta dari pada orang Jakartanya sendiri. Seperti pada rekan-rekan kantor di departemen saya kebanyakan berasal dari Bekasi, seputaran Tangerang-Ciputat-Serpong (Banten), dan sebagian ada yang berasal dari Bogor. Makanya saat Jakarta kebanjiran seperti pertengahan Januari 2013 yang lalu banyak yang tidak bisa masuk kerja bukan karena rumahnya banjir, tapi akses ke kantornya yang tidak bisa dilewati. Jarak tempuh yang jauh membuat para pekerja ini tidak memilih membawa kendaraan pribadi, sebagian memilih bermotor, sebagian besar memilih kereta sebagai tumpuan bekerja sehari-hari, termasuk saya. Kayanya udah kebayang gak sanggup aja deh kalau setiap hari harus bermacet-macetan dengan mobil pribadi atau angkot dijalan raya Jakarta yang kejam durjana itu.

Nikmatnya berkereta ke kantor adalah waktu jarak tempuh yang dipangkas cukup banyak bisa setengahnya atau bahkan lebih. Dengan biaya yang cukup terjangkau dan banyak pilihan jadwal keberangkatan cukup memanjakan pengguna kereta yang tadinya coba-coba jadi kecanduan. Saya berangkat dari rumah jam 06.20 atau 06.25 dengan kereta commuterline yang berangkat dari stasiun pondok ranji dekat rumah pukul 06.33 (di jadwal kertas PT.KAI) walau pada akhirnya bisa molor sekitar 5 menitan dari jadwal. Dengan berkereta saya bisa sampai kantor jam 07.12 sampai 07.25 tergantung traffic di seputaran BI dan Tugu tani. Bisa senyaman dan sesantai itu pergi kekantor saya sudah sangat bersyukur, karena jika dibandingkan dengan berangkot ria atau naik motor sekalipun pegel macetnya itu nggak tahan.
Naik kereta itu banyak memberi cerita menarik pada saya, apalagi kalau saat kebagian naik kereta ekonomi, seru-seru orangnya. Dikereta ekonomi yang ongkosnya hanya Rp.1500 jajananya saja di kereta bisa berkali-kali lipat daripada harga karcisnya. Dari minuman dan makanan kecil, Koran majalah, buah lokal dan import, iket rambut, handuk kecil, sampai kaos dalem. Lengkap kap kap… Ada satu pedagang mpek2 yang kreatif di kereta, abang mpek2 dagang sambil ngomong sendiri kenceng-kenceng begini, “Terereeeng!! Mpek-mpeknya baru datang nih! Rasanya Woooow…”. Sumpah, saya ngikik terus kalau liat abang yang satu ini, ceria banget dagangnya. Obrolan orang-orang dikasta menengah ini juga selalu seru didengar, bukan nguping yah tapi namanya juga desak-desakan di kereta mau nggak mau pasti kedengaranlah. Ada sekumpulan bapak-bapak asyik makan rambutan menggelar Koran duduk di lantai kereta seru banget obrolannya, pas saya dengerin ternyata ngobrolin kelakuannya Haji Muhidin, tokoh antagonis di sinetron Tukang Bubur naik Haji. Lucu sekaligus miris melihat mereka ngobrol seakan-akan tokoh Haji Muhidin itu benar-benar ada, atau bahkan tetangga mereka sendiri. Hahaha…

Lain lagi ceritanya kalau naik kereta AC commuterline, yang naik bisaanya kalangan menengah keatas. Mereka jarang mengobrol dan berkelompok (ada juga sih tapi jarang). Kebanyakan mereka eksekutif muda yang sibuk dengan gadgetnya sepanjang perjalanan kereta. Generasi menunduk! Sibuk mantengin social media atau main game dibanding bertukar senyum dengan yang lain. Riset sederhana saya, 3 dari 5 pengguna gadget di commuterline mantengin twitter, satunya lagi ngeliatin FB, dan sisa satunya lagi main game. kemudian 4 dari 5 orang tersebut adalah pengguna Blekberi dan satu orang sisanya adalah pengguna HP lain dan pasti sedang main game. That’s all.
Betapa sibuknya mereka saya nggak pernah berpikiran mereka jahat atau egois. Terlalu stress atau ketakutan maybe. Takut kecopetan, takut telat ngantor, takut nggak keangkut kereta, dst. Jadi bermain gadget bisa merupakan pelampiasannya menghentikan waktu sementara untuk bersenang-senang. Saya pernah 2x mau pingsan di kereta (hobi amat yah!). Pertama saat berangkat kantor dan kedua saat pulang kantor sekitar jam 7 malam. Gejalanya selalu sama, pandangan mata kabur dan tiba-tiba semuanya menjadi kuning dan dengkul lemes banget. Darah rendah saya niy malu-maluin banget. Tapi syukur Alhamdulillah semuanya saat itu terjadi selalu ada yang mau menolong. Ada bapak-bapak yang sampai mau memapah saya dan menemani sampai saya sadar dan memastikan saya baik-baik saja, dan ibu-ibu yang mau memberikan tempat duduknya untuk saya bergantian berdiri, ngasih permen pula. Setelah pusingnya reda ternyata ibu-ibu itu lagi hamil (haduuhhh..). Semoga Allah membalas kebaikan kalian yah, amiiin…

Apapun transportasi yang kalian pilih untuk bekerja, semangat ya. Jangan mau kalah dengan jahatnya macet Jakarta. Yakin deh Allah selalu melindungi dengan kita selalu mengingat Dia. Walau gaji sepertinya tidak kunjung memuaskan, bersyukurlah maka kita akan merasa cukup. 🙂

twitterland

twitterland